Kali ini saya ingin berbicara tentang singkong rebus, terkait persaudaraan dengan tetangga beda dusun yang unik dan istimewa. Supri teman s...
Kali ini saya ingin berbicara tentang singkong rebus, terkait persaudaraan dengan tetangga beda dusun yang unik dan istimewa.
Supri teman saya. Ia adalah seorang "marhaen" yang berprofesi sebagai tukang batu, tepatnya sebagai kenek pembantu tukang batu. Orang yang buta aksara baca tulis namun ahli menghitung uang ini, secara alami harus mampu bertahan hidup merekatkan diri dengan semua orang tak pandang status sosial.
Dalam kondisi serba kekurangan, ia hidup di bangunan sempit ukuran 30m² di atas tanah mertuanya. Yang mengharukan, ia tinggal bersama isteri dengan 5 orang anak dan 3 cucunya dalam bangunan sempit itu dalam suasana akrab dan dipenuhi cinta kasih tanpa terinterupsi oleh gangguan yang bernama uang dan materi.
Saya mengenalnya sejak 10 tahun lalu ketika ia turut membantu pemborong membangun rumah yang kemarin baru saja saya tinggalkan karena tidak ada yang tersisa dalam diri ini selain kehormatan.
Kembali kepada Supri, orangnya supel, ringan tangan dan mau melakukan apapun yang diperlukan untuk menolong orang. Karena itulah, ia terkenal sebagai tenaga gratisan kyai dan tokoh² lokal untuk melayani mereka yang disisipi sebagai bagian dari perjuangan dan pengabdian kepada agama.
Sepuluh tahun saya memeperjuangkan agar ia mampu memerdekakan diri dari isme² berjubah agama dan berperangai selayaknya Abu Jahal, Abu Lahap, Abu Sofyan dan Abu abu lainnya. Dan saya berhasil, ia mandiri dan memiliki prinsip baru yang layak dihormati.
Sering ketika ia menghadapi kesulitan apapun pasti mampir ke tempat saya tanpa menunjukkan untuk dibelas kasihani. Beberapa kali ia ke rumah mengutarakan bahwa anaknya perlu sepeda untuk sekolah dan saya pergi ke dalam rumah mengambilkan sepeda elektrik yang saya punya utk anaknya. Begitu dan seterusnya.
Kadang saya tidak habis pikir, dimana situasi bathin saya gundah, ia secara tiba² menghampiri. Seakan seperti mengetahui kegundahan saya.
Hari ini, tiba² isterinya sebagai wanita paruh baya yang telah mencatatkan rekor terbanyak pengumpul penyakit ini menawarkan singkong rebus lalu mengantarkan ke tempat dimana saya 'lockdown'.
Sembari menikmati singkok rebusannya, kita berbincang saling mengadukan kegalauan dan kesulitan di teras atas kolam. Dia tahu saya sedang sulit, dan saya selalu mengerti bahwa dia sedang dirundung kesedihan mendalam perihal salah satu menantunya yang memang tak tahu diri.
Disela-sela membahas tentang sulitnya jaman, terselip candaan dan gurauan yang membuat kami sempat lupa kekejaman alam yang dibuat sedemikian rupa oleh hegemoni sehingga membawa suasana seakan kami sedang bercanda di dalam surga.
Dengan segala keterbatasan sebagai orang desa lugu dan tidak beruntung dari segi pendidikan, ia mampu memberikan hiburan bathin yang tak mampu dibeli dengan materi.
Tuhan memang Maha Penghibur makhlukNya.
